Rabu, 12 November 2014

Penetapan Postur Kabinet : Fase Awal Politik Pemerintahan Jokowi atau Pemerintahan JK ?

Kelompok kerja (pokja) pemerintahan transisi Jokowi-JK sudah hampir rampung menyelesaikan tugasnya. Pokja pemerintahan Transisi Jokowi –JK ini secara krusial telah menentukan cetak biru quo vadis tata kelola pemerintahan Jokowi JK selama 5 tahun kepemimpinannya kedepan. Tradisi baru dalam alih kekuasaan politik di negara ini – sekaligus merupakan Fase awal politik pemerintahan Jokowi – JK tersebut, telah berhasil merumuskan matrikulasi mengenai model, struktur dan karakter serta kriteria pejabat publik yang akan mengisi pos sebagai pembantu Jokowi – JK sebagai menteri.
Dan kemarin, (15/9) sambil cengengesan, Presiden terpilih Jokowi dalam konferensi pers-nya telah menetapkan postur pemerintahan kabinetnya yang akan bekerja selama 5 tahun kedepan setelah ia resmi di lantik 20 Oktober 2014 mendatang.
Persoalannya, apakah fase krusial yang telah terbentuk tersebut sejatinya telah mencerminkan implementasi atas konsistensi idealitas visi politik Jokowi seperti yang pernah diretorikakan kepada publik pada saat merebut hati rakyat ? Jawaban atas pertanyaan itu memang mungkin terlalu dini untuk di justifikasi dalam konteks menimbang secara kritis atas sejumlah pernyataan Jokowi yang sepertinya “berdamai” dengan Jusuf Kalla yang mengedepankan realitas politik ketimbang bertahan dengan pakem dramaturgi pencitraan personal melalui statement politik selama ini. Atau mungkinkah keputusan mengenai komposisi Kabinet pemerintahan Jokowi tersebut merupakan salah satu indikator bahwa sejatinya legitimasi personal Jokowi amat lemah. Ia terbukti hanya ditopang oleh dramaturgi pencitraan politik yang pada akhirnya sembrono karena lemahnya retorika yang diproduksi lewat berbagai statement yang mengidentifikasi politik marginal personal Jokowi yang secara persuasif telah berhasil menarik simpati rakyat secara instan – sehingga memenangkan kontestasi pilpres.
Dalam perpektif itulah di fase politik awal pemerintahan Jokowi – JK ini, wajar apabila publik harap-harap cemas dengan apa yang telah diputuskan Jokowi terkait postur Kabinet yang telah menetapkan 34 menteri dengan komposisi 18 menteri berasal dari kalangan profesional dan 16 menteri dari kalangan parpol itu. Dengan penyebutan komposisi profesional dan dari kalangan parpol itu saja, sejatinya publik sudah bisa menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pokja transisi yang telah menyodorkan cetak biru mengenai Zaken Kabinet malah diametral dengan apa yang diputuskan oleh Jokowi-JK.
Dalam konteks itulah sejumlah catatan kritis harus menjadi telaah bagi publik untuk menilai pemerintahan baru ini secara obyektif. Tentu, Politik waktu (timing politics) akan mengurai sejauhmana konsistensi pemikiran yang telah menjadi retorika politik Jokowi – JK pada saat kampanye, juga berujung pada efektifitas jalannya pemerintahan dengan mengacu kepada asumsi trilogi kepentingan politik. Yaitu pemikiran ideologis partai pengusung yang dimotori oleh PDIP dengan otoritas sikap Megawati sebagai Ketua Umum, pemikiran pragmatis Jusuf Kalla dan kompetensi pemikiran Jokowi sendiri sebagai presiden.
Catatan kritis tersebut antara lain terkait soal fakta empiris tentang kabinet ramping dan statement tentang koalisi tanpa syarat yang direkam publik dari pernyataan Jokowi pada saat kampanye dan pasca keputusan kemenangannya dalam kontestasi pilpres kemarin. Fakta bahwa ternyata postur kabinet Jokowi relatif sama secara kuantitatif dengan pemerintahan SBY, public akhirnya kecewa bahwa sejak awal statement politik tentang kabinet ramping adalah hanya pepesan kosong belaka. Bahwa kemudian Kabinet Jokowi adalah kabinet tanpa syarat juga akhirnya hanyalah retorika irrasional dan pepesan kosong. Ternyata kabinet sudah di kapling untuk disediakan oleh kalangan parpol. Walaupun dalam konteks ini, kita tidak menafikan fakta tentang masalah kompetensi baik yang berasal dari kalangan profesional maupun dari kalangan parpol, namun matrikulasi komposisi tersebut sejatinya telah menegasikan gambaran riel tentang harapan diisinya putra-putri terbaik di pos kementerian. Ia hanya disediakan “terbatas” dengan komposisi yang “dipaksa” secara politik dengan jumlah yang telah ditentukan. Yakni 18 menteri dari luar parpol dan 16 menteri berasal dari parpol sebagai hadiah dukungan politik (koalisi). Bahkan diduga pula bisa jadi nantinya 18 menteri yang awalnya profesional itu lambat laun bergabung di salah satu partai penguasa.
Catatan kritis berikutnya adalah mengenai berhasilnya Jusuf kalla yang diduga mampu memberikan ruang pemikiran yang lebih adaptif dan bisa diterima oleh kepentingan partai koalisi. Seperti diketahui, sejak awal JK – lah yang kerap menetralisir lemahnya gagasan dan visi Jokowi, khususnya terkait kapasitas statement politik Jokowi mengenai masalah postur dan tata kelola pemerintahan kedepan. Kredibilitas dan eksistensi-personality JK mampu mengambil peran yang lebih realistis sehingga terkesan mampu “menjinakkan” gagasan ideal Jokowi dalam menjalankan pemerintahan 5 tahun kedepan. Terlepas apakah visi JK inheren dengan Jokowi dan apakah sesuai dengan keinginan rakyat, JK terlihat mampu mengubah cara pandang Jokowi. Misalnya soal percepatan kenaikan harga BBM di awal pemerintahannya nanti dan soal penolakannya tentang gagasan pengunduran diri menteri dari jabatan parpol yang diusung Jokowi. Beberapa indikator tersebut menunjukkan bahwa JK berhasil mengambil peran Jokowi tentang independensi dan hak prerogatifnya sebagai presiden dalam menyusun pejabat kementerian.
“Kemenangan” awal JK ini tentu juga perlu dicermati dalam konteks yang lebih luas nantinya sepanjang jalannya pemerintahan Jokowi 5 tahun kedepan. Secara kritis hal tersebut juga menjadi cerminan politik waktu Jokowi. Apakah yang bersangkutan benar-benar legitimate sebagai presiden dimata parpol koalisinya, terlebih-lebih dimata rakyat yang mendukungnya. Atau sebaliknya, fase awal ini sudah mulai membuktikan, sekaligus menegaskan siapa sejatinya the real President ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar