Dan kemarin, (15/9) sambil cengengesan,
Presiden terpilih Jokowi dalam konferensi pers-nya telah menetapkan
postur pemerintahan kabinetnya yang akan bekerja selama 5 tahun kedepan
setelah ia resmi di lantik 20 Oktober 2014 mendatang.
Persoalannya, apakah fase krusial yang
telah terbentuk tersebut sejatinya telah mencerminkan implementasi atas
konsistensi idealitas visi politik Jokowi seperti yang pernah
diretorikakan kepada publik pada saat merebut hati rakyat ? Jawaban atas
pertanyaan itu memang mungkin terlalu dini untuk di justifikasi dalam
konteks menimbang secara kritis atas sejumlah pernyataan Jokowi yang
sepertinya “berdamai” dengan Jusuf Kalla yang mengedepankan realitas
politik ketimbang bertahan dengan pakem dramaturgi pencitraan personal
melalui statement politik selama ini. Atau mungkinkah keputusan mengenai
komposisi Kabinet pemerintahan Jokowi tersebut merupakan salah satu
indikator bahwa sejatinya legitimasi personal Jokowi amat lemah. Ia
terbukti hanya ditopang oleh dramaturgi pencitraan politik yang pada
akhirnya sembrono karena lemahnya retorika yang diproduksi lewat
berbagai statement yang mengidentifikasi politik marginal personal
Jokowi yang secara persuasif telah berhasil menarik simpati rakyat
secara instan – sehingga memenangkan kontestasi pilpres.
Dalam perpektif itulah di fase politik
awal pemerintahan Jokowi – JK ini, wajar apabila publik harap-harap
cemas dengan apa yang telah diputuskan Jokowi terkait postur Kabinet
yang telah menetapkan 34 menteri dengan komposisi 18 menteri berasal
dari kalangan profesional dan 16 menteri dari kalangan parpol itu.
Dengan penyebutan komposisi profesional dan dari kalangan parpol itu
saja, sejatinya publik sudah bisa menilai bahwa apa yang dilakukan oleh
pokja transisi yang telah menyodorkan cetak biru mengenai Zaken Kabinet
malah diametral dengan apa yang diputuskan oleh Jokowi-JK.
Dalam konteks itulah sejumlah catatan
kritis harus menjadi telaah bagi publik untuk menilai pemerintahan baru
ini secara obyektif. Tentu, Politik waktu (timing politics) akan
mengurai sejauhmana konsistensi pemikiran yang telah menjadi retorika
politik Jokowi – JK pada saat kampanye, juga berujung pada efektifitas
jalannya pemerintahan dengan mengacu kepada asumsi trilogi kepentingan
politik. Yaitu pemikiran ideologis partai pengusung yang dimotori oleh
PDIP dengan otoritas sikap Megawati sebagai Ketua Umum, pemikiran
pragmatis Jusuf Kalla dan kompetensi pemikiran Jokowi sendiri sebagai
presiden.
Catatan kritis tersebut antara lain
terkait soal fakta empiris tentang kabinet ramping dan statement tentang
koalisi tanpa syarat yang direkam publik dari pernyataan Jokowi pada
saat kampanye dan pasca keputusan kemenangannya dalam kontestasi pilpres
kemarin. Fakta bahwa ternyata postur kabinet Jokowi relatif sama secara
kuantitatif dengan pemerintahan SBY, public akhirnya kecewa bahwa sejak
awal statement politik tentang kabinet ramping adalah hanya pepesan
kosong belaka. Bahwa kemudian Kabinet Jokowi adalah kabinet tanpa syarat
juga akhirnya hanyalah retorika irrasional dan pepesan kosong. Ternyata
kabinet sudah di kapling untuk disediakan oleh kalangan parpol.
Walaupun dalam konteks ini, kita tidak menafikan fakta tentang masalah
kompetensi baik yang berasal dari kalangan profesional maupun dari
kalangan parpol, namun matrikulasi komposisi tersebut sejatinya telah
menegasikan gambaran riel tentang harapan diisinya putra-putri terbaik
di pos kementerian. Ia hanya disediakan “terbatas” dengan komposisi yang
“dipaksa” secara politik dengan jumlah yang telah ditentukan. Yakni 18
menteri dari luar parpol dan 16 menteri berasal dari parpol sebagai
hadiah dukungan politik (koalisi). Bahkan diduga pula bisa jadi nantinya
18 menteri yang awalnya profesional itu lambat laun bergabung di salah
satu partai penguasa.
Catatan kritis berikutnya adalah mengenai
berhasilnya Jusuf kalla yang diduga mampu memberikan ruang pemikiran
yang lebih adaptif dan bisa diterima oleh kepentingan partai koalisi.
Seperti diketahui, sejak awal JK – lah yang kerap menetralisir lemahnya
gagasan dan visi Jokowi, khususnya terkait kapasitas statement politik
Jokowi mengenai masalah postur dan tata kelola pemerintahan kedepan.
Kredibilitas dan eksistensi-personality JK mampu mengambil peran yang
lebih realistis sehingga terkesan mampu “menjinakkan” gagasan ideal
Jokowi dalam menjalankan pemerintahan 5 tahun kedepan. Terlepas apakah
visi JK inheren dengan Jokowi dan apakah sesuai dengan keinginan rakyat,
JK terlihat mampu mengubah cara pandang Jokowi. Misalnya soal
percepatan kenaikan harga BBM di awal pemerintahannya nanti dan soal
penolakannya tentang gagasan pengunduran diri menteri dari jabatan
parpol yang diusung Jokowi. Beberapa indikator tersebut menunjukkan
bahwa JK berhasil mengambil peran Jokowi tentang independensi dan hak
prerogatifnya sebagai presiden dalam menyusun pejabat kementerian.
“Kemenangan” awal JK ini tentu juga perlu
dicermati dalam konteks yang lebih luas nantinya sepanjang jalannya
pemerintahan Jokowi 5 tahun kedepan. Secara kritis hal tersebut juga
menjadi cerminan politik waktu Jokowi. Apakah yang bersangkutan
benar-benar legitimate sebagai presiden dimata parpol koalisinya,
terlebih-lebih dimata rakyat yang mendukungnya. Atau sebaliknya, fase
awal ini sudah mulai membuktikan, sekaligus menegaskan siapa sejatinya
the real President ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar